Minggu, 27 Oktober 2019

PENILAIAN HUTAN

Tugas Penilaian Hutan                                                                                          Medan,  Oktober 2019

KARAKTERISTIK DARI POTENSI HASIL SUMBERDAYA HUTAN PULAI (Alstonia scholaris)

Dosen Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,. M.Si.

Disusun Oleh:
Hanna Liesmaya Gultom
171201218
Budidaya Hutan 5








  






PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang  
            Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem dikarenakan hubungan antara masyarakat tumbuh – tumbuhan pembentuk hutan, binatang liar, dan lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan sangat erat kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Beberapa definisi hutan yang lazim digunakan : 1. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem. 2. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon – pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan. 3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis.
            Hutan mempunyai fungsi, peran dan manfaat yang penting bagi kehidupan manusia. Pada jaman dahulu hutan digunakan sebagai tempat berburu dan meramu bahan makanan bagi manusia. Sekarang dengan berkembangnya peradaban, budaya dan ekonomi manusia, hutan dieksploitasi lebih intensif dalam berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Untuk memenuhi dan membatasi kegiatan tersebut disusunlah sebuah kebijakan pemanfaatan hutan berdasarkan kegunaannya yang disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan, wilayah hutan dibagi menjadi hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (tetap maupun terbatas) dan hutan konversi. Konsep ini secara mendalam membatasi eksploitasi hutan pada wilayah tertentu yang memang diperuntukan bagi kepentingan ekonomi manusia secara langsung
            HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management. HHBK atau Non-Timber Forest Product memiliki nilai yang sangat strategis. HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK merupakan jenis tanaman yang tumbuh, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Walaupun peranan HHBK sudah dirasakan masyarakat sebagai salah satu sumber pendapatan, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional sehingga kualitas yang dihasilkan masih jauh dari standar yang diharapkan dan harganya tergolong masih rendah.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja taksonomi/morfologi dan deskripsi tanaman pulai?
2. Apa saja manfaat dan khasiat dari tanaman pulai?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja taksonomi/morfologi dan deskripsi tanaman pulai.
2. Untuk mengetahui manfaat dan khasiat dari tanaman pulai.

BAB II
ISI
2.1 Taksonomi/morfologi dan deskripsi pulai


Klasifikasi
Kingdom               : Plantae
Divisi                     : Tracheophyta
Kelas                     : Magnoliopsida
Ordo                      : Gentianales
Famili                    : Apocynaceae
Genus                    : Alstonia
Spesies                   : Alstonia scholaris(L.) R.Br.
            Pulai adalah nama pohon dengan nama botani Alstonia scholaris. pohon ini dari jenis tanaman keras yang hidup di pulau Jawa dan Sumatra. Dikenal juga dengan nama lokal pule, kayu gabus, lame, lamo dan jelutung. kualitas kayunya tidak terlalu keras dan kurang disukai untuk bahan bangunan karena kayunya mudah melengkung jika lembap, tetapi banyak digunakan untuk membuat perkakas rumah tangga dari kayu dan ukiran serta patung. Pohon ini banyak digunakan untuk penghijauan karena daunnya hijau mengkilat, rimbun dan melebar ke samping sehingga memberikan kesejukan. Kulitnya digunakan untuk bahan baku obat. berkhasiat untuk mengobati penyakit radang tenggorokan dan lain-lain.
            Pohon pulai dapat mencapai tiggi 40 m. Daunnya hijau mengkilap dengan bagian bawah daun berwarna lebih pucat.[2] Daunnya menjari dengan jumlah tiga sampai sepuluh daun dan petiole sepanjang 3 cm. Bunganya mekar di bulan Oktober dan memiliki aroma yang harum. Biji dari pulai berbentuk oblong dan berambut.[3] Kulit kayunya tidak memiliki bau namun memiliki rasa yang sangat pahit, dengan getah yang cukup banyak. Batangnya berwarna hijau gelap. Bunga pule merupakan tipe bunga majemuk, dengan kelopak bulat telur, berwarna putih kekuningan. Buah tanaman ini berbentuk pita, berwarna putih, dengan panjang 20-50 mm. Biji berukuran kecil berwarna putih dengan panjang 1,5 - 2 cm. Akar atau yang disebut dengan jangkar tanaman berbentuk tunggang dan berwarna coklat. Pulai tersebar di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.2 Manfaat dan Khasiat Tanaman Pulai
1.      Tanaman pulai digunakan untuk mengobati sakit malaria.
2.      Tanaman pulai sebagai obat anti anti setres (adoptogenik).
3.      Tanaman pulai berguna untuk menyembuhkan dari kerusakan hati
4.      Tanaman pulai bermanfaat untuk meningkatkan daya ingat (nootropic).
5.      Tanaman pulai berkhasiat sebagai antioksidan.
6.      Tanaman pulai untuk meningkatkan antiaging (anti penuaan).
7.      Tanaman pulai untuk mengurangi iritasi kulit.
8.      Tanaman digunakan sebagai obat sakit tenggorokan.

Kamis, 11 April 2019

KLASIFIKASI DAN MANFAAT SUMBER DAYA HUTAN


Tugas Ekonomi Sumber Daya Hutan                                                                        Medan,  April 2019
KLASIFIKASI DAN JENIS MANFAAT SUMBER DAYA HUTAN

Dosen Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,. M.Si.

Disusun Oleh:
Hanna Liesmaya Gultom
171201218
Hut 4D







 

  






PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya hutan merupakan salah satu ciptaaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini. Sebab di dalam hutan telah diciptakan segala makhluk hidup baik besar maupun kecil. Di samping itu, di dalamnya juga hidup sejumlah tumbuhan yang menjadi hamparan, yang menjadi satu kesatuan utuh. Hal ini menjadi sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik, yang dapat dipergunakan untuk membangun bangsa dan negara, oleh karena itu asset yang terdapat di dalam hutan sangat dibutuhkan untuk menambah pendapatan negara dan pendapatan daerah, sehingga dengan adanya pengelolaan hutan tersebut dapat pula menopang pendapatan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan.
Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang secara langsung maupun manfaat secara tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia. Manfaat hutan yang tidak langsung meliputi gudang keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terbesar di dunia meliputi flora dan fauna, Bank lingkungan regional dan global yang tidak ternilai, baik sebagai pengatur iklim, penyerap CO2 serta penghasil oksigen, Fungsi hidrologi yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia di sekitar hutan dan plasma nutfah yang dikandungnya, Sumber bahan obat-obatan, Ekoturisme, Bank genetik yang hampir-hampir tidak terbatas, dan lain-lain.
Tujuan
Pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana sesuai dengan kaidah kelestarian tidak saja akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga akan mendapatkan manfaat yang berkesinambungan.

BAB II
ISI
a.     Klasifikasi Ilmiah
Hasil gambar untuk pohon sungkai
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Verbeaceae
Genus : Peronema
Spesies : Peronema canescens

b.      Nama Daerah
 Di Indonesia biasa dikenal dengan nama sungkai atau jati sabrang.

Hasil gambar untuk daun sungkai
c.       Habitus dan Ciri Morfologi









Tanaman sungkai merupakan tanaman kayu-kayuan yang bisa mencapai tinggi 20-30 meter, dengan diameter batang mencapai 60 cm atau lebih. Tinggi batang bebas cabang bisa mencapai 15 meter.
Bentuk batang lurus dengan lekuk kecil, tapi kadang-kadang bentuk batangnya jelek akibat serangan hama pucuk. Kulit berwarna abu-abu atau sawo muda, beralur dangkal mengelupas kecil-kecil dan tipis. Penampang kulit luar berwarna coklat, kuning atau merah muda. Kayunya berteras dengan warna sawo muda. Rantingnya penuh dengan bulu-bulu halus. Tajuk tanaman berbentuk bulat telur dan pada umumnya kurang rimbun. Daun mejemuk bersirip ganjil, letak berpasangan dan anak-anak daun letaknya berpasangan atau berselang-selang, lancip, melancip pada ujungnya, anak daun dibagian bawahnya tertutup rapat dengan bulu-bulu halus. Bentuk buah kecil-kecil dan letak bunga berpasangan serta berkedudukan malai. Perakaran menyebar dangkal, tidak tahan terhadap kekurangan zat asam lebih dari 10 hari 

d.      Manfaat
Kegunaan kayu sungkai cocok untuk rangka atap, karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai juga untuk tiang rumah dan bangunan jembatan. Garis-garis indah mungkin baik untuk vinir mewah, kabinet dan sebagainya.
Hasil gambar untuk kayu sungkai
 








Kulitnya dapat digunakan dinding lumbung padi. Begitu pula daunnya digunakan sebagai obat sakit gigi dan demam panas. Kayunya mempunyai berat jenis 0,62 dan termasuk kelas kuat II – III serta kelas awet III.


e.       Daerah penyebaran dan tempat tumbuh
Sungkai adalah jenis pohon yang tumbuh pada daerah tropis. Jenis ini termasuk kedalam suku Verbenaceae dengan berbagai nama daerah seperti Jati sebrang atau ki sebrang (Sunda), Jati Sumatra (Sumatra Selatan), Sungkai atau kayu lurus (Kalimantan Selatan). Daerah penyebaran adalah Bagian Barat Kepulauan Indonesia yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. 
      Tempat tumbuh utama sungkai di hutan sekunder yang berair dan kadang-kadang terdapat juga di hutan sekunder yang kering, akan tetapi tidak dijumpai di hutan primer serta daerah yang periodik tergenang air. Sungkai umumnya tumbuh baik pada ketinggian 0 – 600 meter dengan tipe iklim A – C menurut tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson. Penanaman pohon sungkai memerlukan tanah yang baik sedangkan ditanah margel tidak dianjurkan karena tanaman akan menjadi layu dan kering.

f.        Budidaya pohon sungkai
a.        Pemilihan Benih Untuk keperluan pembibitan pemilihan benih (biji) dilakukan dengan cara mengambil buah-buah yang sudah tua yang ditandai warna coklat tua.
b.       Pembibitan Pemilihan Terubusan yang akan dipakai sebagai bahan stek dilakukan dengan cara memilih terubusan yang sehat dan sudah berkayu dengan diameter lebih kurang 2,5 cm dan panjang 25 cm – 30 cm. 
c.        Penanaman Sungkai dapat ditanam pada areal bekas tebangan dan semak belukar dengan sistim jalur atau cemplongan.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.       Sungkai merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang banyak terdapat di Bagian Barat Kepulauan Indonesia yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. 
2.      Adapun ciri-ciri dari tanaman ini antara lain :
• Memiliki daun majemuk ( 1 tangkai memiliki banyak helai daun)
• Bentuk daun panjang dan meruncing
• Daun muda berwarna coklat sampai kemerahan
• Batang memiliki ruas/buku
• Warna batang hijau kecoklatan
3.      Kegunaan dari kayu sungkai dipakai sebagai tiang rumah dan bangunan jembatan, garis-garis indah mungkin baik untuk vinir mewah, kabinet dan sebagainya.


Selasa, 08 Januari 2019

 Tugas Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan                                                        Medan,  Januari 2019 

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN

Dosen Penanggungjawab
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,. M.Si.

 Oleh

Hanna L. Gultom
171201218
HUT 3D








                                                                                 
                              







PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019



Pengertian Serta Ruang Lingkup kebijkan dan peraturan perundang-undangan
            Perundang-undangan dalam Kamus Black’s Law Dictionary, dibedakan antara  legislation  dan  regulation. Legislation lebih diberi makna sebagai pembentukan hukum melalui lembaga  legislasi (the making of laws via Legislation). Regulation diberi pengertian aturan atau ketertiban yang dipaksakan melelui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui wewenang eksekutif (rule or order having force of law issued by executive authority of government).
Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundang-undangan (legislation,  wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
            Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
            Rincian jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ialah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang memperoleh delegasi dari Undang-undang atau Peraturan Presiden, Keputusan Menteri dan Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Depertemen serta Departemen sertra Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang memperoleh delegasi dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Keputusan ’badan’ Negara yang dibentuk berdasarkan atribusi suatu Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota, atau Kepala Daerah yang memperoleh delegasi dari peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
            Sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang terdiri atas:
a.       Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c.       Peraturan Pemerintah;
d.      Peraturan Presiden;
e.       Peraturan Daerah.
Hirarki Peraturan Perundangan di Indonesia
            Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
a.  UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
b.  Ketetapan MPR
c.  Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu)
d.  Peraturan Pemerintah (PP)
e.  Peraturan Presiden (Perpres)
f.   Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta  Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

g.  Peraturan Desa

Kebijakan ekonomi pengusahaan hutan di Indonesia
            kehutanan diartikan sebagai segala pengurusan yang berkaitan dengan hutan, mengandung sumberdaya ekonomi yang beragam dan sangat luas pula dari kegiatan-kegiatan yang bersifat biologis seperti rangkain proses silvikultur sampai dengan berbagai kegiatan administrasi pengurusan hutan.           
Ekonomi makro bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perekonomian yang diperlukan menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang memfokuskan diri pada:
1.Penggunaan sumberdaya secara penuh (full employment)
2.Stabilitas harga
3.Pertumbuhan ekonomi
4.Mutu lingkungan hidup
Kebijakan ekonomi pengusahaan hutan di indonesia
a). Kebijakan fiskal (pajak dan subsidi)
      Kebijakan fiskal yangdilakukan oleh pemerintah dapat mempengaruhi kinerja pembangunan sektor kehutaanan antara lain pemungutan pajak yang terlalu tinggi hingga pengusaha tidak memperoleh keuntangan ditinjau dari sisi positif akan mendorong terjadinya konservasi hutan hutan.
b) Kebijakan Moneter
Kebijakan pemerintah mencegah laju inflasi dengan mengurangi jumlah uang beredar untuk mencegah inflasi.
c) Kebijakan pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan mendorong
orang menabung. Tabungan yang terkumpul diperbankan dapat dijadikan
modal investasi untuk pembangunan sektor kehutanan melalui sistem kredit
perbankan.

ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN EKOWISATA DI INDONESIA
Indonesia tercatat pada peringkat ke-81 dari 133 negara. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan didukung budaya serta kakayaan alam berupa keanekaragaman yang sangat tinggi baik di tingkat genetik, spesies maupun ekosistem, maka sektor pariwisata di Indonesia menjadi patut untuk diprioritaskan dalam pembangunan.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, semua sektor pembangunan di Indonesia harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks pariwisata, paradigma pembangunan kepariwisataan telah mengalami evolusi, dari bentuk mass tourism menjadi sustainable tourism. Berdasarkan Deklarasi Quebec, secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata hakikatnya merupakan bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan. Berdasarkan analisis TIES (2000) pertumbuhan pasar ekowisata berkisar antara 10-30 persen per tahun sedangkan pertumbuhan wisatawan secara keseluruhan hanya 4 persen. Tahun 1998, WTO memperkirakan pertumbuhan ekowisata sekitar 20%. Di kawasan Asia Pasifik sendiri angka pertumbuhan tadi berkisar antara 10-25% pada pertengahan tahun 1990an.
Dalam pengembangan ekowisata nasional, sesungguhnya aspek regulasi dan kebijakan menjadi sangat penting untuk dikaji sebagai dasar orientasi para pihak dalam mengimplementasikan pembangunan pariwisata di berbagai daerah. Kegagalan pengembangan ekowisata terjadi karena terjadinya tumpang tindih pengelolaan, disharmoni kebijakan dan peraturan perundang-undangan dan ego sektoral pada setiap kementerian selaku penanggungjawab pembangunan ekowisata.
Dalam pengembangan ekowisata, terdapat empat instansi yang memiliki wewenang dalam pengelolaan dan membuat kebijakan dan perundangundangan tentang ekowisata. Kementerian tersebut, meliputi: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun demikian, dalam dinamika regulasi kepariwisataan dan ekowisata di Indonesia, dapat dikatakan belum mampu mengedepankan ruang objektivitas ilmu dan penerapan visi yang terarah. Selain itu, adanya indikasi aspek politis dalam perumusan konsep-implementasi pembangunan ekowisata juga menjadi hal penting yang perlu ditelaah secara kompeherensif. Easton (1965) dalam Avenzora (2008) menekankan pentingnya dinamika dan proses yang terjadi dalam suatu sistem politik serta lingkup kebijakan yang dihasilkan. Avenzora (2008) memaparkan bahwa hambatan dalam pelaksanaan regulasi untuk menciptakan ekowisata efektif tersebut karena: 1) belum tercipta prakondisi yang diperlukan agar kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif; 2) pengambilan keputusan umumnya belum dirumuskan secara komprehensif, misalnya kurang memperhatikan konsep ekonomi dan institusi sebagai dasar perumusan kebijakan serta melakukan dikotomi antara fakta dan nilai dalam pengambilan keputusan; 3) masih lemahnya upaya penegakan hukum (law enforcement); 4) perumusan substansi kebijakan yang kurang sesuai dengan permasalahan kawasan konservasi yang dihadapi; dan 5) substansi kebijakan yang masih cenderung berupa pengaturan, komando dan kontrol atau petunjuk teknis semata.