Tugas
Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan Medan, Januari 2019
KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN
Dosen Penanggungjawab
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,. M.Si.
Oleh
Hanna L. Gultom
171201218
HUT 3D
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
Pengertian
Serta Ruang Lingkup kebijkan dan peraturan perundang-undangan
Perundang-undangan dalam Kamus Black’s Law Dictionary, dibedakan antara
legislation dan regulation. Legislation lebih
diberi makna sebagai pembentukan hukum melalui lembaga legislasi (the
making of laws via Legislation). Regulation diberi pengertian aturan
atau ketertiban yang dipaksakan melelui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah melalui wewenang eksekutif (rule or order having force of law issued
by executive authority of government).
Maria
Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundang-undangan (legislation,
wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang
berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan
merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan
adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan
peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
Rincian jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ialah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang memperoleh
delegasi dari Undang-undang atau Peraturan Presiden, Keputusan Menteri dan
Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Depertemen serta Departemen sertra
Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang memperoleh delegasi dari Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, Keputusan ’badan’ Negara yang dibentuk
berdasarkan atribusi suatu Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota, atau Kepala Daerah yang
memperoleh delegasi dari peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang terdiri atas:
a. Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c. Peraturan
Pemerintah;
d. Peraturan
Presiden;
e. Peraturan
Daerah.
Hirarki
Peraturan Perundangan di Indonesia
Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut
adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No.
12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan:
a. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
b. Ketetapan
MPR
c. Undang-Undang (UU)
/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu)
d. Peraturan
Pemerintah (PP)
e. Peraturan
Presiden (Perpres)
f. Peraturan
Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh,
serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di
Provinsi Papua dan Papua Barat.
g. Peraturan
Desa
Kebijakan
ekonomi pengusahaan hutan di Indonesia
kehutanan
diartikan sebagai segala pengurusan yang berkaitan dengan hutan, mengandung
sumberdaya ekonomi yang beragam dan sangat luas pula dari kegiatan-kegiatan
yang bersifat biologis seperti rangkain proses silvikultur sampai dengan
berbagai kegiatan administrasi pengurusan hutan.
Ekonomi makro bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang perekonomian yang diperlukan menyusun
kebijakan-kebijakan ekonomi yang memfokuskan diri pada:
1.Penggunaan sumberdaya secara penuh (full employment)
2.Stabilitas harga
3.Pertumbuhan ekonomi
4.Mutu lingkungan hidup
Kebijakan ekonomi pengusahaan hutan di indonesia
a). Kebijakan fiskal (pajak dan subsidi)
Kebijakan
fiskal yangdilakukan oleh pemerintah dapat mempengaruhi kinerja pembangunan
sektor kehutaanan antara lain pemungutan pajak yang terlalu tinggi hingga
pengusaha tidak memperoleh keuntangan ditinjau dari sisi positif akan mendorong
terjadinya konservasi hutan hutan.
b) Kebijakan Moneter
Kebijakan pemerintah mencegah laju inflasi dengan
mengurangi jumlah uang beredar untuk mencegah inflasi.
c) Kebijakan pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan
mendorong
orang menabung. Tabungan yang terkumpul diperbankan
dapat dijadikan
modal investasi untuk pembangunan sektor kehutanan
melalui sistem kredit
perbankan.
ANALISIS
KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN EKOWISATA DI INDONESIA
Indonesia
tercatat pada peringkat ke-81 dari 133 negara. Hal ini karena Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan didukung budaya serta
kakayaan alam berupa keanekaragaman yang sangat tinggi baik di tingkat genetik,
spesies maupun ekosistem, maka sektor pariwisata di Indonesia menjadi patut untuk
diprioritaskan dalam pembangunan.
Berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, semua
sektor pembangunan di Indonesia harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Dalam konteks pariwisata, paradigma pembangunan kepariwisataan
telah mengalami evolusi, dari bentuk mass tourism menjadi sustainable tourism.
Berdasarkan Deklarasi Quebec, secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata
hakikatnya merupakan bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata
berkelanjutan. Berdasarkan analisis TIES (2000) pertumbuhan pasar ekowisata
berkisar antara 10-30 persen per tahun sedangkan pertumbuhan wisatawan secara
keseluruhan hanya 4 persen. Tahun 1998, WTO memperkirakan pertumbuhan ekowisata
sekitar 20%. Di kawasan Asia Pasifik sendiri angka pertumbuhan tadi berkisar
antara 10-25% pada pertengahan tahun 1990an.
Dalam
pengembangan ekowisata nasional, sesungguhnya aspek regulasi dan kebijakan
menjadi sangat penting untuk dikaji sebagai dasar orientasi para pihak dalam
mengimplementasikan pembangunan pariwisata di berbagai daerah. Kegagalan
pengembangan ekowisata terjadi karena terjadinya tumpang tindih pengelolaan,
disharmoni kebijakan dan peraturan perundang-undangan dan ego sektoral pada
setiap kementerian selaku penanggungjawab pembangunan ekowisata.
Dalam
pengembangan ekowisata, terdapat empat instansi yang memiliki wewenang dalam
pengelolaan dan membuat kebijakan dan perundangundangan tentang ekowisata.
Kementerian tersebut, meliputi: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Namun demikian, dalam dinamika regulasi kepariwisataan dan ekowisata
di Indonesia, dapat dikatakan belum mampu mengedepankan ruang objektivitas ilmu
dan penerapan visi yang terarah. Selain itu, adanya indikasi aspek politis
dalam perumusan konsep-implementasi pembangunan ekowisata juga menjadi hal
penting yang perlu ditelaah secara kompeherensif. Easton (1965) dalam Avenzora
(2008) menekankan pentingnya dinamika dan proses yang terjadi dalam suatu
sistem politik serta lingkup kebijakan yang dihasilkan. Avenzora (2008)
memaparkan bahwa hambatan dalam pelaksanaan regulasi untuk menciptakan
ekowisata efektif tersebut karena: 1) belum tercipta prakondisi yang diperlukan
agar kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif; 2) pengambilan keputusan
umumnya belum dirumuskan secara komprehensif, misalnya kurang memperhatikan
konsep ekonomi dan institusi sebagai dasar perumusan kebijakan serta melakukan
dikotomi antara fakta dan nilai dalam pengambilan keputusan; 3) masih lemahnya
upaya penegakan hukum (law enforcement); 4) perumusan substansi kebijakan yang
kurang sesuai dengan permasalahan kawasan konservasi yang dihadapi; dan 5)
substansi kebijakan yang masih cenderung berupa pengaturan, komando dan kontrol
atau petunjuk teknis semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar