Selasa, 08 Januari 2019

 Tugas Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan                                                        Medan,  Januari 2019 

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN

Dosen Penanggungjawab
Dr. Agus Purwoko, S.Hut,. M.Si.

 Oleh

Hanna L. Gultom
171201218
HUT 3D








                                                                                 
                              







PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019



Pengertian Serta Ruang Lingkup kebijkan dan peraturan perundang-undangan
            Perundang-undangan dalam Kamus Black’s Law Dictionary, dibedakan antara  legislation  dan  regulation. Legislation lebih diberi makna sebagai pembentukan hukum melalui lembaga  legislasi (the making of laws via Legislation). Regulation diberi pengertian aturan atau ketertiban yang dipaksakan melelui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui wewenang eksekutif (rule or order having force of law issued by executive authority of government).
Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundang-undangan (legislation,  wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
            Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
            Rincian jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ialah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang memperoleh delegasi dari Undang-undang atau Peraturan Presiden, Keputusan Menteri dan Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Depertemen serta Departemen sertra Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang memperoleh delegasi dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Keputusan ’badan’ Negara yang dibentuk berdasarkan atribusi suatu Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota, atau Kepala Daerah yang memperoleh delegasi dari peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
            Sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang terdiri atas:
a.       Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c.       Peraturan Pemerintah;
d.      Peraturan Presiden;
e.       Peraturan Daerah.
Hirarki Peraturan Perundangan di Indonesia
            Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
a.  UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
b.  Ketetapan MPR
c.  Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu)
d.  Peraturan Pemerintah (PP)
e.  Peraturan Presiden (Perpres)
f.   Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta  Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

g.  Peraturan Desa

Kebijakan ekonomi pengusahaan hutan di Indonesia
            kehutanan diartikan sebagai segala pengurusan yang berkaitan dengan hutan, mengandung sumberdaya ekonomi yang beragam dan sangat luas pula dari kegiatan-kegiatan yang bersifat biologis seperti rangkain proses silvikultur sampai dengan berbagai kegiatan administrasi pengurusan hutan.           
Ekonomi makro bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perekonomian yang diperlukan menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang memfokuskan diri pada:
1.Penggunaan sumberdaya secara penuh (full employment)
2.Stabilitas harga
3.Pertumbuhan ekonomi
4.Mutu lingkungan hidup
Kebijakan ekonomi pengusahaan hutan di indonesia
a). Kebijakan fiskal (pajak dan subsidi)
      Kebijakan fiskal yangdilakukan oleh pemerintah dapat mempengaruhi kinerja pembangunan sektor kehutaanan antara lain pemungutan pajak yang terlalu tinggi hingga pengusaha tidak memperoleh keuntangan ditinjau dari sisi positif akan mendorong terjadinya konservasi hutan hutan.
b) Kebijakan Moneter
Kebijakan pemerintah mencegah laju inflasi dengan mengurangi jumlah uang beredar untuk mencegah inflasi.
c) Kebijakan pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan mendorong
orang menabung. Tabungan yang terkumpul diperbankan dapat dijadikan
modal investasi untuk pembangunan sektor kehutanan melalui sistem kredit
perbankan.

ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN EKOWISATA DI INDONESIA
Indonesia tercatat pada peringkat ke-81 dari 133 negara. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan didukung budaya serta kakayaan alam berupa keanekaragaman yang sangat tinggi baik di tingkat genetik, spesies maupun ekosistem, maka sektor pariwisata di Indonesia menjadi patut untuk diprioritaskan dalam pembangunan.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, semua sektor pembangunan di Indonesia harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks pariwisata, paradigma pembangunan kepariwisataan telah mengalami evolusi, dari bentuk mass tourism menjadi sustainable tourism. Berdasarkan Deklarasi Quebec, secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata hakikatnya merupakan bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan. Berdasarkan analisis TIES (2000) pertumbuhan pasar ekowisata berkisar antara 10-30 persen per tahun sedangkan pertumbuhan wisatawan secara keseluruhan hanya 4 persen. Tahun 1998, WTO memperkirakan pertumbuhan ekowisata sekitar 20%. Di kawasan Asia Pasifik sendiri angka pertumbuhan tadi berkisar antara 10-25% pada pertengahan tahun 1990an.
Dalam pengembangan ekowisata nasional, sesungguhnya aspek regulasi dan kebijakan menjadi sangat penting untuk dikaji sebagai dasar orientasi para pihak dalam mengimplementasikan pembangunan pariwisata di berbagai daerah. Kegagalan pengembangan ekowisata terjadi karena terjadinya tumpang tindih pengelolaan, disharmoni kebijakan dan peraturan perundang-undangan dan ego sektoral pada setiap kementerian selaku penanggungjawab pembangunan ekowisata.
Dalam pengembangan ekowisata, terdapat empat instansi yang memiliki wewenang dalam pengelolaan dan membuat kebijakan dan perundangundangan tentang ekowisata. Kementerian tersebut, meliputi: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun demikian, dalam dinamika regulasi kepariwisataan dan ekowisata di Indonesia, dapat dikatakan belum mampu mengedepankan ruang objektivitas ilmu dan penerapan visi yang terarah. Selain itu, adanya indikasi aspek politis dalam perumusan konsep-implementasi pembangunan ekowisata juga menjadi hal penting yang perlu ditelaah secara kompeherensif. Easton (1965) dalam Avenzora (2008) menekankan pentingnya dinamika dan proses yang terjadi dalam suatu sistem politik serta lingkup kebijakan yang dihasilkan. Avenzora (2008) memaparkan bahwa hambatan dalam pelaksanaan regulasi untuk menciptakan ekowisata efektif tersebut karena: 1) belum tercipta prakondisi yang diperlukan agar kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif; 2) pengambilan keputusan umumnya belum dirumuskan secara komprehensif, misalnya kurang memperhatikan konsep ekonomi dan institusi sebagai dasar perumusan kebijakan serta melakukan dikotomi antara fakta dan nilai dalam pengambilan keputusan; 3) masih lemahnya upaya penegakan hukum (law enforcement); 4) perumusan substansi kebijakan yang kurang sesuai dengan permasalahan kawasan konservasi yang dihadapi; dan 5) substansi kebijakan yang masih cenderung berupa pengaturan, komando dan kontrol atau petunjuk teknis semata.